Di Tanah Orang
Oleh: Asri Pratiwi/05/Xi BHS
Lembayung senja itu adalah lukisan termisterius yang terlihat dalam hidupku hari ini. Aku berjalan dengan pikiran yang masih kalut atas kejadian di sekolah siang tadi. Suara bising kendaraan dan kepulan debu yang berterbangan semakin menggenapkan risauku.
Aku masih saja terus berjalan menyusuri lorong itu. Tempat yang ku tuju tinggal beberapa meter lagi. Namun, rupanya niatku harus berubah saat ku lihat seorang laki-laki muda , dengan raut wajah yang tampak galau dan duduk melamun sendirian,tampak digenggamnya sebuah bingkisan merah muda. Saat ku hampiri, dan ternyata Dia adalah Rino sahabatku sendiri. Yang aku pikirkan sekarang adalah ada apa dengan dia? Mengapa dia membawa bingkisan berwarna merah muda? Apakah dia sedang menunggu wanita idamannya? Pertanyaan-pertanyaan itu masih menyelinap di benakku.
“Rino?? Kamu sedang apa di sini? Tanyaku.
“Rino?? Kamu sedang apa di sini? Tanyaku.
“Nungguin kamu pulang.” Jawabnya.
“Ngapain nunggu aku pulang? Tak seperti biasanya kamu begini?” Tanyaku lagi dengan agak heran dengan perilaku Rino yang aneh.
“A..a..aku mau bilang kalau ini adalah pertemuan terakhir kita dan ini ada kenang-kenangan untukmu.” Ujarnya.
“Apa?? memangnya Kamu mau kemana?” Tanyaku.
“Aku harus kerja diluar kota, mungkin pulang setahun sekali. Soalnya aku lulus tes penerimaan karyawan di suatu perusahaan mobil di daerah ibu kota dan malam ini harus sudah berangkat.” Jawabnya dengan perasaan sedih.
“Hati-hati ya kawan, jaga diri baik-baik disana! Dan jangan lupakan aku!” Kataku.
Rasa penasaranku dan semua pertanyaan-pertanyaan yang ada di benakku kini telah terkuak semua, dan pertemuan itu membuatku sedih bercampur senang. Tak pernah terbayangkan bila harus jauh dari sahabat karibku. Malamnya aku berdoa kepada Tuhan semoga Rino selamat sampai tujuan, dia berangkat dari sekolahnya bersama teman-temannya yang senasib di perantauan sana, maklum sebelumnya dia menuntut ilmu di sekolah kejuruan swasta bidang permesinan dan tidak melanjutkan pendidikan lagi karena faktor ekonomi minim, sehingga dia harus bekerja dan dia harus mnyekolahkan adiknya sampai tamat SMA, karena orang tuanya yang hanya pandai besi hanya mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari saja. Untuk sekolah saja Rino hanya mengandalkan beasiswa karena kepandaiannya dalam berbagai mapel.
Keesokan harinya aku mendapat kabar darinya melalui pesan singkat, bahwa dia sudah sampai ibu kota. Dia seperti orang asing di ibu kota, tak terbiasa dengan lalu lalang kendaraan yang berjubel, sampai-sampai mau menyeberang saja sulit. Pada awal dia bekerja, keluh kesah selalu di sampaikan padaku tentang susahnya hidup di perantauan, dia tinggal di kamar kost kumuh yang sempit dan berisi 3 orang per kamar. Ternyata uang 500 ribu pun tak mampu menanggung kebutuhan sehari-hari selama sebulan di Ibu kota, dan dia terpaksa berhutang pada warung-warung sekitar kostnya sampai dia mendapat gajinya telah cair.
Apalagi jika harus bertemu dengan suatu ruangan besar, yang panas, riuh gaduhnya para pekerja dan suara bising mesin-mesin yang menusuk telinga,. Masih di tambah kerja yang tak menentu waktunya, jika masuk pagi pulang sore, dan bila masuk malam pulang pagi, dan hal seperti itu membuatnya semakin tidak betah di sana karena tidak terbiasa dengan suasana di pabrik mobil itu. Tapi enaknya di Ibu kota banyak cewek yang cantik-cantik. Di pabrik Dia bertemu dengan seseorang yang sudah bertahun-tahun bekerja di sana dan sering sharing dengan orang itu yang bernama Pak Rusdi kira-kira berumur 40 tahun yang sudah di anggap seperti saudara sendiri oleh Rino karena keramahannya dan daerah asalnya sama dengan Rino.
Kerja belum genap seumur jagung, Rino sudah mendapat teguran dari atasan karena mengakibatkan kecelakaan kerja yang menimpa temannya yang menderita luka sobek pada telapak tangan terkena mesin press yang di jalankan Rino. Kata Rino itu keteledoran temannya tahu mesin press hidup tetapi dia tidak menjauh dan akhirnya puluhan jahitan menyambung telapak tangan temannya dan harus menginap di rumah sakit karena terlalu banyak darah yang keluar saat kejadian tragis itu. Untung saja atasan Rino masih berbaik hati dan masih memberi kesempatan bekerja kepada Rino. Dia prihatin melihat teman-temannya yang terpaksa harus di drop out dari pabrik karena sering membolos kerja, dan harus pulang ke kampung halaman lebih dulu.
Bulan berganti bulan, aku pun merasa kangen kepada Rino ya sekedar kangen sebatas sahabat. Pada suatu malam aku mencoba telepon dia.
“Halo? Apa kabar Rin?” Tanyaku.
“Hai, kabarku baik-baik saja. Kamu?” Tanyanya kembali.
“Kabarku baik juga. Kapan pulang Rin?” Tanyaku.
“Insyaallah, lebaran nanti. Kan sebentar lagi lebaran? Kamu itu, baru 3 bulan aku kerja sudah di tanya kapan pulang. Apa sudah kangen sama aku?” Dia mulai meledek aku.
“Ahh.. tidak juga. Hehehe…” Jawabku sambil malu-malu.
“Maaf ya sudah tidak bisa ngobrol lama soalnya aku harus kerja, dan pulangnya besok pagi.” Katanya.
“ Ya sudah tidak apa-apa. Hati-hati ya Rin! Selamat malam” Kataku.
“Iya, terima kasih. Selamat malam juga.” Jawab dia.
Bulan Ramadhan telah tiba, bulan ini berbeda dengan bulan Ramadhan tahun kemarin yang masih sempat bertemu dengan Rino yang biasanya setelah pulang sholat tarawih lalu aku di antar pulang karena searah. Tapi sekarang sudah jauh berbeda, terasa sepi walau kurang satu sahabat saja. Dan sudah tak ada lagi yang menghiburku pada saat aku terpuruk dalam suatu masalah, karena dia sudah di tanah orang tempat dia mencari sesuap nasi untuk kebutuhan hidupnya.
Lebaran sebentar lagi, entah Rino akan pulang kampung atau tidak. Rasa penasaranku kembali muncul karena sudah hampir satu bulan tak ada kabar darinya. 6 hari sebelum lebaran tiba-tiba Rino mengirimkan pesan singkat kepada ku yang berisi permintaan maaf.
“Maaf ya, kemungkinan aku tidak bisa pulang kampung, karena gaji pada bulan ini belum cair dan bila gajinya di ajukan pada bulan besok maka aku tidak bisa pulang. Kata orang-orang 2 hari kedepan akan cair, tapi entahlah apakah benar atau tidak. Mohon doanya saja ya biar aku bisa pulang.” Kata Rino dalam SMS.
“Kalau tidak pulang, kamu tidak bisa kumpul bareng temen-temen lagi dong? Iya deh, aku sama temen-temen yang lain akan berdoa buat kamu. Ku tunggu kepulanganmu kawan.” Balasku.
“ Terima kasih. Sudah dulu ya aku mau kerja lagi, sampai jumpa kawan nanti kalau ada kabar aku sms lagi.” Balasnya.
“Iya sama-sama.” Jawabku.
Semenjak sms itu aku merasa sedih sekali jika Rino tidak pulang saat lebaran nanti, seperti memasak sayur tanpa garam saat berkumpul-kumpul dengan teman-teman tetapi tidak ada dia, teman-temanku pun juga merasa begitu. Karena di mata mereka, sosok Rino adalah orang yang baik hati dan suka bercanda. Aku pun harus menunggu 2 hari lagi, untuk menanti sebuah keputusan dari seorang Rino sahabat karibku.
Rasa gelisah semakin muncul saat tiba pada hari ke 2. Tak henti-hentinya memandangi ponselku hanya untuk sebuah sms dari Rino, apakah pulang atau tidak? Beberapa saat kemudian ponselku bordering, dengan cepat aku membuka sms yang masuk.
“Kring…kring….”
“Ya ampun… ternyata pesan dari operator, ku kira dari Rino. Huhh membuatku jengkel saja!” Kata ku dalam hati.
Selang beberapa saat ponselku berbunyi lagi. “kring..kring.” dan segera ku buka.
“Siang Kawan, aku jadi pulang kampung. Besok pagi naik bus, karena sudah di pesankan tiket oleh Pak Rusdi. Insyaallah sampai di kampung masih besoknya lagi, karena jika macet akan lebih lama lagi, bisa sampai 1 hari lebih di jalan.” Kata Rino.
“Yang bener Rin? Kamu serius?” Tanyaku sambil senyam senyum sendiri.
“Duarius deh buat kamu.Hehehe…”Rino mulai bercanda.
“Asyik…bisa ngejek kamu terus nanti pas lebaran kan abis ngejek bisa maaf-memaafan. Hehehe…” balasku dengan ledekan.
“Ya sudah aku mau beres-beres pakaian dulu. Selamat siang.” Balas Rino yang menyudahi SMSnya.
Sesampainya Rino di kampung banyak sekali orang yang menyambut kedatangannya, orang-orang mengira kalau Rino sudah menjadi orang yang sukses, padahal baru 3 bulan bekerja di Ibu kota. Rino hanya di beri izin pilang kampung selama 10 hari saja 5hari sebelum lebaran dan 5 hari setelah lebaran. Dan hari lebaran pun tiba, seperti biasa aku, teman-temanku dan Rino, selalu berkunjung ke pantai untuk sekedar refressing saja. Melihat parasnya pantai sangat menyejukkan hatiku, begitu indah nan elok ciptaan Tuhan. Kegembiraanku bersama teman-teman terlampiaskan di pantai itu.
Namun 5 hari setelah lebaran Rino berpamitan untuk kembali lagi ke tanah orang di Ibu kota. Dia terpaksa meninggalkan aku dan teman-teman karena tuntutan kebutuhan ekonomi yang semakin mendesak. Aku hanya mengikhlaskan saja, seorang sahabat sejati pasti tak akan pernah lupa dengan sahabat lamanya walau sampai akhir hayat hidupnya pasti akan terkenang selalu. Yang ku terima kabar dari Rino setelah kembali ke Ibu kota adalah Rino sudah berpindah pabrik karena di pabrik mobil sudah dianggap tidak nyaman, dan pabrik yang sekarang dia tempati lebih jauh enak dan gajinya lebih tinggi dari pabrik mobil. Sehingga sekarang dia betah tinggal di tanah orang, dan pulang kembali pada lebaran berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar